Cerita Terigas

Nice People, Beautiful Mind, Great Civilization

  • Sambas Punye Cerite

    sambas terigas
  • May 2024
    M T W T F S S
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  
  • counter
  • Blog Stats

    • 6,553 hits
  • RSS Antara Terkini

    • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.

Archive for the ‘Culture’ Category

Minat Pemuda Terhadap Budaya Minim Mahasiswa Malaysia Pelajari Melayu Sambas

Posted by Wahyudi English on October 6, 2010

Senin, 14 Juni 2010 , 07:39:00
SAMBAS. Lunturnya dialek bahasa Melayu di kalangan generasi muda Malaysia patut menjadi pelajaran bagi kita. Miris dengan kondisi tersebut, mahasiswa Akademik Pengkajian Melayu (APM) Malaysia melakukan Studi Banding Budaya Melayu di Kabupaten Sambas selama seminggu.Sebanyak 23 mahasiswa S2 tersebut berasal dari Universiti Malaya. Sabtu (12/6) lalu, mereka mengawali penelitiannya mengenai budaya Melayu di Desa Sebadi dan Desa Ratu Sepudak, Kecamatan Teluk Keramat.

Guna mendukung kegiatan tersebut, Dinas Pemuda Olahraga, Budaya dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Sambas mengenalkan situs sejarah budaya Sambas, diantaranya Istana Alwatzikoebillah Sambas, ziarah ke Makam Ratu Sepudak dan menyaksikan secara langsung seni tradisional, seperti Tari Otar-otar, Bekesah dan dialek bahasa Melayu. “Tak hanya itu, para mahasiswa juga menyaksikan seni Ratib Saman dan pertunjukan Alok Gambang,” kata Kabid Budaya Disporabudpar Kabupaten Sambas   Sherly Nurlita SH didampingi Kasi Budaya Disporabudpar Kabupaten Sambas Tajili kepada Equator, Sabtu (12/3) saat melakukan kunjungan ke Desa Sebadi, Kecamatan Teluk Keramat dan Desa Kota Lama, Kecamatan Galing.

Ditemui terpisah, Dosen Pembimbing Mahasiswa APM Dr Sudarsono mengatakan, banyak hal mereka peroleh setelah berkunjung ke Kabupaten Sambas, seperti Tari Otar- otar dan Desa Kota Lama Kecamatan Galing, yang tidak banyak mahasiswa Malaysia mengetahuinya. “Kebudayaan lain, adalah mengenal tradisi adat pernikahan Melayu Sambas. Kami juga menyaksikan pagelaran Tari Ratib Saman, Mayong, Bubu, dan Tari Radat di Desa Sebadi,” jelasnya.

Menurutnya, tidak banyak mahasiswa yang tertarik mengambil Jurusan Budaya Melayu. Justru, banyak mahasiswa di Malaysia menekuni bidang teknologi. Akibatnya, tidak banyak generasi muda disana yang tahu mengenai kebudayaan Melayu yang sesungguhnya. Bahkan, di Malaysia dialek bahasa Melayu sudah jarang ditemukan. “Ada sebagian kecil perkampungan yang masih dihuni warga Melayu dengan mempertahankan tradisi yang ada. Sementara di pusat kota, bahasa Melayu yang ada sudah bercampur dengan bahasa Inggris,” ungkapnya.

Kondisi ini paparnya, terjadi karena banyak pemuda maupun pemudi mengenyam pendidikan di luar negeri. Sehingga bahasa Melayu dan bahasa Inggris sering digunakan masyarakat Malaysia secara bercampur-campur. “Seiring berkembangnya teknologi, semakin meredupkan minat masyarakat meneliti budayanya,” ucapnya.

Oleh karena itu lanjutnya, kunjungan ke Kabupaten Sambas bertujuan untuk mengenalkan para mahasiswa dan berminat mendalami bahasa, adat dan budaya Melayu di Sambas. “Hasilnya akan menjadi sebuah referensi mahasiswa, setelah melihat secara langsung kebudayaan Melayu Sambas itu sendiri,” tegasnya.

Hal senada diungkapkan Amin, Ketua Regu Mahasiswa Malaya. Ia kagum dengan semua yang disaksikan dalam kunjungan ke Kabupaten Sambas. Mulai dari keramahtamahan masyarakat hingga sambutan yang diberikan masyarakat. “Banyak pagelaran sudah disaksikan, begitu juga dengan jamuan makanya. Sungguh luar biasa,” pujinya.

Sementara itu, Kepala Dusun Kota Lama, Kecamatan Galing Marwan menyambut baik kunjungan mahasiswa Malaysia untuk melakukan pengkajian kebudayaan Melayu Sambas. Ia berharap hasil kunjungan mahasiswa dapat makin mengenalkan seni dan budaya Kabupaten Sambas ke mancanegara. (edo) — Equator News Online

Posted in Culture | Leave a Comment »

Penyelidikan Bahasa dan Masyarakat Islam di Alam Melayu

Posted by Wahyudi English on March 6, 2008

Oleh: Yusriadi

Pengantar:
Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan dalam Seminar 35 tahun Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Seminar dilaksanakan tanggal 25 Juni 2007 lalu di Sudut Wacana Kampus UKM, Bangi, Kuala Lumpur.

Pendahuluan

Tema ini sangat menarik. Biasanya, dalam pandangan awam –khususnya orang di Kalimantan Barat, penyelidikan bahasa dan perkembangan masyarakat Islam bergerak terpisah. Bahasa, ya, bahasa. Masyarakat Islam, ya, masyarakat Islam.
Penyelidikan bahasa berkaitan dengan kegiatan linguis mengumpulkan data bahasa yang digunakan masyarakat, atau bicara mengenai bentuk yang diterima dan tidak. Hampir-hampir terlepas dari masyarakat Islam.

Bila membicarakan masyarakat Islam berarti membicarakan bagaimana masyarakat mengamalkan ajaran Islam. Membicarakan penelitian Islam, para ilmuan lebih cenderung melihat dari sisi normatifnya.
Sebelum ini ada juga kecenderungan untuk menganggap Islam sebagai bentuk yang asli dari tradisi agama samawi tersebut. Jadi Islam akan berkaitan dengan persoalan-persoalan ibadah dan lain sebagainya. Bila di luar dari kenyataan ini, orang akan menganggap ini bukan Islam, atau ini bukan yang asli Islam.
Sesungguhnya kewujudan hal seperti ini amat ketara, dan merupakan gejala umum di Indonesia. Dalam buku mengenai penelitian agama di Indonesia sudahpun disebutkan bagaimana kalangan agamawan memisahkan antara penelitian sosial dan penelitian agama. Oleh sebab itu penelitian mengenai masyarakat Islam kurang mendapat sentuhan dari sudut ilmu sosial. Tulisan ini, dalam banyak hal menggambarkan upaya yang perlu dilakukan untuk menempatkan konteks sosial keagamaan pada satu tataran praktis. baca selengkapnya

Posted in Culture | 1 Comment »

Radat of Sambas goes to Terengganu Malaysia

Posted by Wahyudi English on February 25, 2008

Tari Radat Sambas (Radat Dance of Sambas)

Radat dance is usually performed in a wedding party or other cultural ceremonies. Radat is one of various Sambas Malay cultures which is the assimilation between Malay and Islamic Middle East cultures.

Radat in Terengganu.

Until today, it is still difficult to track the exact period of when Radat came to Terengganu. However, according to some Radat instructors of Terengganu that this performance originally came from Middle East since the lyrics are mostly copied from Hadrah Book, and music instruments are almost identical with Rebana (tambourine) of Hadrah. It is believed that Radat was introduced by some traders of Sambas, West Borneo.

… “Very few of the instructor of performers had any idea of the origin of the performance, but in one or two cases it was recalled that years ago natives of Sambas in Borneo used to come anually in the fine weather for trading, and that during their stay in Terengganu they used to dance the ‘Rodat’ …The dance had proved popular and the local people had learn it from the traders … ” (4).

According to the author of Mastika, August 1967, Radat was brought by traders of Sambas and Pontianak to Terengganu 50 – 60 years ago. They came to buy Songket, golden thread, woven materials, and other products. They sailed to Terenggangu bay.

During their stay in Terengganu, the traders of Sambas gathered around 10 to 20 people played small Rebanas, sang, and danced together until midnight. The easy listening lyrics attracted the local people of Kuala Terengganu to come close to the performers near their big ship. From here the local people learned Radat.

Another opinion, Mr. Salleh bin Musa (a Radat instructor), 56 years old, states that around 70 – 80 years ago Muhammad Kepak, Cik Udun, and Abdullah Pepeh (cloth traders of Terengganu) brought Radat to Terengganu from Sambas. It was them who first played Radat in Terengganu especially in Kampung Pasir Panjang. Muhammad Kepak played his role as the singer and Rebana player, Cik Udin as the dancer, and Abdullah Pepeh as the singer. From this performance, Radat spread throughout Terengganu.

Reference:

www.sambas.go.id

http://www.trglib.gov.my/jaringan/trg/kesenian_rodat.htm (bahasa Melayu version)

Posted in Culture | Leave a Comment »

Saprahan (Eating together)

Posted by Wahyudi English on February 25, 2008

Saprahan is a unique tradition of Sambas Malay in which a group of six people join together to have their food in wedding meal or other ritual meal. A host of wedding party groups his/her guests six by six in a special tent which is called Tarup (comes from Arabic word “Ta’aruf”, normally a big tent built from bamboo with timber floor) or in his/her house depending on the party. Saprahan still can be found in most villages of Sambas regency or Sambas community outside the regency.

Originally, the group of people is seated in a circle facing their meal. There will be six plates for six of them with one or two baskets of rice and with various side dishes in front of them. The meal is always served by the host’s servants. The guests do not need to take their meal from a table. They only wait in their group patiently for their turn of having a polite service from the servants of party. They usually have a nice conversation with their fellow group while waiting for being served or while having their meal.

The philosophy of Saprahan is actually to grow the sense of togetherness, to improve a good relationship, and to build equity among the people. This has a big impact in Sambas community for harmonious life in their society. Sense of togetherness and equity gets rid off a big gap among the society.

However, nowadays many people start not to practice this genuine tradition, especially those who live in an urban area. They think this practice of serving their guests in a party is not practical, time consuming, and more costly. They prefer a modern practice, which is called Prasmanan model, to this tradition. In this model, every guest who comes to their party takes their own meal from a certain table, takes a seat on a guest lounge to eat their food up, after that congratulate the host, then leaves the party. It is so simple. No wonder why many people like to apply this model when they have a weeding party. However, it seems very individual. There is only little togetherness and warm communication among the people. read more

Posted in Culture | Leave a Comment »